Pontianak - Kalimantan Barat sedang bersolek menjadi salah satu pusat hilirisasi tambang nasional. Di balik hingar-bingar pembangunan smelter bauksit dan gelontoran investasi triliunan rupiah, masih ada realitas getir yang tidak bisa diabaikan, masyarakat lokal belum menjadi pemain utama, bahkan tak jarang hanya menjadi penonton dalam panggung megah eksploitasi sumber daya.
Cornelis, mantan Gubernur Kalbar dua periode yang kini duduk di Komisi XII DPR RI, tak henti menyuarakan ketimpangan ini. Dengan latar belakang panjang sebagai birokrat yang malang melintang dari camat hingga gubernur, Cornelis memahami akar masalah Kalbar lebih dari sekadar angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laporan investasi.
“Jangan sampai para petani sawit di Kalbar tidak bisa menanam sawitnya akibat kerusakan tanah bekas penambangan,” ujar Cornelis dalam sebuah rapat dengar pendapat, sebuah pernyataan yang menyentil keras arah pembangunan tambang yang cenderung mengorbankan ekosistem dan masyarakat lokal demi kepentingan industri besar.
Kalbar kini menjadi tuan rumah proyek ambisius Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah dengan nilai investasi mencapai USD 831 juta atau sekitar Rp 12,5 triliun. Proyek ini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional dan diharapkan memproduksi satu juta ton alumina per tahun.
Namun di balik harapan ini, enam dari tujuh smelter bauksit yang direncanakan di Kalbar masih stagnan. Dari PT Laman Mining di Ketapang hingga PT Quality Sukses Sejahtera di Pontianak, semua menghadapi masalah yang sama, pendanaan yang seret dan belum adanya mitra strategis.
Lebih ironis lagi, beberapa perusahaan bahkan telah kehilangan izin usaha, seperti PT Kalbar Bumi Perkasa. Situasi ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan perencanaan investasi tambang yang tidak hanya merugikan investor, tetapi juga masyarakat lokal yang berharap banyak dari kehadiran proyek-proyek ini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pengolahan berkontribusi sekitar 15,38 persen terhadap PDRB Kalbar. Tapi siapa yang benar-benar menikmati pertumbuhan ini? Angka-angka tersebut tampak megah di atas kertas, tetapi tidak menjawab pertanyaan krusial, apakah masyarakat Kalbar, terutama di sekitar wilayah tambang, benar-benar mengalami peningkatan kualitas hidup? Apakah mereka mendapatkan akses kerja layak, perbaikan infrastruktur, atau sekadar udara bersih?
Inilah paradoks tambang Kalbar hari ini. Kaya sumber daya alam, tetapi miskin dalam redistribusi kesejahteraan. Investasi mengalir, tetapi daya hidup masyarakat lokal tetap stagnan. Cornelis, dalam kapasitasnya sebagai anggota Komisi XII, menjadi salah satu suara lantang yang menolak skenario pembangunan yang hanya menguntungkan pemodal besar. Dia mengingatkan pentingnya manajemen tambang yang profesional dan transparan.
“Investasi tambang itu padat modal dan padat teknologi. Karenanya dibutuhkan manajemen yang teruji dan terpercaya,” ujarnya.
Namun, suara semacam Cornelis hanya akan menjadi gema di ruang parlemen jika tidak disertai keberanian pemerintah pusat dan daerah untuk menegakkan regulasi dan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Investasi, jika tidak memberi ruang bagi masyarakat lokal, pada akhirnya hanya akan menciptakan alienasi. Tambang akan terus digali, hasilnya diekspor, dan yang tertinggal hanya lubang besar dan harapan kosong. Cornelis benar ketika mengatakan bahwa rakyat harus menjadi subjek, bukan objek pembangunan. Dalam setiap megaproyek, seharusnya ada ruang partisipasi yang nyata, bukan sekadar konsultasi formalitas. Cornelis tegaskan jika Kalbar tidak butuh janji, Kalbar butuh keadilan. Sudah waktunya arah pembangunan tambang berubah haluan dari eksploitatif menuju partisipatif, dari elitis menuju inklusif, dan dari pertumbuhan semu menuju kesejahteraan nyata.